Masa remaja memang masa dimana seseorang paling senang ketika diajak ngobrol, berbincang, bahkan pengajian bertemakan seputar pernikahan.
Pada rubik pembahasan kali ini kita akan membahas kenapa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak menikah? Padahal menikah merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pertama: Benar, menikah merupakan sunnah rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Imam Al-albani rahimahumallah :
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
"Menikah merupakan sunnahku, maka barangsiapa yang tidak mau mengamalkan sunnahku dia bukan dari golonganku, dan menikahlah kalian sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak, dan barangsiapa sudah sanggup maka nikahkanlah, dan barangsiapa yang belum sanggup maka berpuasalah karena sesungguhnya puasa itu adalah perisai."
Tidak diragukan bahwa menikah juga merupakan sunnah dari para rasul buktinya nabi adam, nabi nuh, nabi ibrahim, nabi musa dan para anbiya' lainnya 'alaihimuslallam mereka menikah dan tentunya nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam juga menikah, para sahabat radhiyallahu anhum menikah, tidak ada satupun yang tidak menikah dikarnakan benci dengan syari'at menikah.
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:
أَمَا وَاللَّهِ ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
"Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dari kalian kepada Allah dan paling bertaqwa diantara kalian, akan tetapi aku berpuasa tapi juga berbuka, aku sholat tapi juga beristirahat, dan aku menikahi para wanita, maka barang siapa yang benci dengan sunnahku maka dia bukan golonganku".
(HR. Al-Bukhari 5063 dan Muslim 1401)
Kedua: Bahwa hukum menikah itu para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama ada yang membaginya menjadi lima wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, ada pula yang membaginya menjadi tiga bagian.
Diantara hukum menikah :
Wajib:
Siapa yang merasa dirinya akan terjatuh kepada sesuatu yang haram bila tidak menikah, maka dalam kondisi yang seperti ini wajib baginya untuk menikah menurut pendapat mayoritas ulama, karena wajib bagi dirinya untuk menjaga kehormatan dan diri agar tidak terjatuh ke sesuatu yang haram.
Mustahab :
Orang-orang yang dianjurkan menikah dalam hal ini hukumnya sunnah, yaitu orang-orang yang memiliki syahwat keinginan untuk menikah akan tetapi dia masih merasa aman bisa menahan dari terjatuhnya ke sesuatu yang haram, maka hukumnya menikah bagi orang yang seperti ini lebih utama daripada menyendiri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nawafil (tambahan) yang hukumnya sunnah.
Makruh :
Orang-orang yang tidak memiliki syahwat baik karena memang dari sananya tidak dibekali oleh sang pencipta, atau pada awalnya orang ini memiliki syahwat akan tetapi hilang karena usia, penyakit atau sebab yang lain maka disini ada dua pembagian:
Pertama dia disunnahkan menikah karena keumuman dari dalil-dalil yang ada, atau yang kedua dia cukup menyibukkan diri dengan ibadah dan ini yang lebih utama karena dia tidak mendapatkan maslahat ketika memilih untuk menikah. Yang tentunya masih ada lagi hukum-hukum turunan dibawahnya. Tapi kita tidak akan melebarkan pembahasan disini.
Ketiga: Mari kita lihat dari segi historis sejarah singkat beliau rahimahullah.
Dan ini yang paling penting karena untuk menghukumi sesuatu dengan adil maka kita harus melihat asbab dari sejarah kehidupan beliau. Kenapa bisa beliau tidak menikah?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah besar di daerah Harran sekarang masuk di salah satu provinsi Turki, setelah baligh umur tujuh tahun pindah bersama keluarganya ke kota Damaskus (Suriah) disebabkan serangan Pasukan Tatar pada tahun 667 H.
Dan mulailah sang ayah abdul Halim mengajar di sana di Jami' Al-Umawy dan di Darul Hadits As-Sukriyah. Di masa muda beliau banyak belajar dan para ulama, para ahli sejarah menyebutkan bahwa ulama yang beliau belajar kepadanya berjumlah dua ratus ulama dari berbagai disiplin ilmu diantaranya tafsir, hadits, fiqh, dan sastra Arab.
Beliau sudah memulai menulis buku dan mengajar sejak umur tujuh belas tahun sepeninggal ayahnya pada tahun 682 H dan menggantikan posisi ayahnya sebagai pengajar didaarul hadits as sukriyah. Tidak hanya itu beliau juga memiliki jam mengajar di Masjid Al-Amuyudrs di kota Hanbaliyah di Damaskus.
Imam ibnu taimiyah harus merasakan berkali-kali pahit getirnya sel tahanan dimasa hidupnya, yang pertama kali adalah pada tahun 693 H/ 1294M setelah dicekal oleh wakil gubernur di Damaskus dengan tuduhan provokasi kepada masyarakat, dikarenakan ada salah seorang beragama nasrani mencaci nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.
Dan pada tahun 705 H/ 1306 M beliau kembali di penjara bersama kedua saudaranya Syarifuddin Abdullah dan Zainuddin Abdurrahman selama delapan belas bulan sampai tahun 707 H/ 1307M dikarenakan masalah kalam dan Nuzul.
Beliau di penjara kembali beberapa hari pada bulan Syawal tahun 707 H/ 1308 M disebabkan pengaduan dari salah seorang Sufi, karena beliau berbicara tentang orang-orang yang memiliki keyakinan wihdatul wujud (bersatunya Allah dengan hamba) Ibnu Arabi, Ibnu Sab'in, al-Qanuwi, al-Hallaj, penetapan hukuman beliau berakhir pada tahun 709 H/ 1309M selama 18 bulan di kota Iskandariyah dan beliau baru keluar dari penjara setelah kembalinya Sulthan al-Nasir Muhammad bin Qulawun untuk berkuasa.
Dan pada tahun 720 H/ 1320 M beliau masuk lagi kedalam bui selama sekitar enam bulan dengan kasus permasalahan talak dengan menggunakan sumpah. Dan di penjara lagi pada tahun 726 H/ 1326 M sampai meninggalnya pada tahun 728 H/ 1328 M dengan masalah ziarah kubur dan memaksakan diri untuk ziarah, beliau juga pernah diboikot oleh para ahli fiqh dari al mutakallimin dan para hakim dikarenakan aqidahnya dalan fatwa beliau tahun 698 H/ 1299 M dan kitab aqidah wasithiyah beliau pada tahun 705 H/ 1306 M yang menisbatkan sifal sam'iyyah sebagaimana dari al-qur'an dan as sunnah sebagaimana sifat wajah, mata, nuzul, istiwa' dan al fauqiyah dengan meniadakan kaifiyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mendapati peperangan mengahadapi serangan kafir mongol disyam, dan beliau merupakan yang paling menonjol dan gigih dalam penghadang penjajah, tahun 699 H/ 1299 M beliau sering memimpin peperangan melawan para penjajah bersama para amir dan sulthan diberbagai daerah diantaranya syam, negeri jard dan khurasan singkat cerita beliau terus berjihad sampai tahun 705 H/ 1305 M. Bahkan pada tahun beliau mengumumkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah pada tahun 702 H/ 1303 M untuk melawan penjajah bangsa tatar yang ingin melibas seluruh kaum muslimin.
Beliau wafat pada tahun 728 H/ 1328 M di penjara. Pada umur beliau yang ke 65 tahun.
Para ulama menyebutkan biografi Imam ibnu taimiyah beliau belum sempat menikah sampai meninggal dunia sebagaimana yang disebutkan al Imam ad dzahabi dalam terjemah beliau halaman 50.
Dan yang perlu digaris bawahi adalah beliau tidak menikah karena benci atas syari'at menikah dan meninggalkan sunnah, bahkan beliau yang paling tegar dalam membelanya bahkan rela di penjara berkali kali dalam membela agama Allah, akan tetapi karena sibuknya beliau dengan jihad, perjuangan membela agama dari serangan penjajah, sibuk dengan ilmu, dan memerangi kebid'ahan dan para penyebarnya, dakwah, perbaikan dan tarbiyah.
Bahkan beliau sendiri telah menjelaskan :
وإن احتاج الإنسان إلى النكاح ، وخشي العنت بتركه : قدمه على الحج الواجب .
وإن لم يخف : قدم الحج . ونص الإمام أحمد عليه في رواية صالح وغيره ، واختاره أبو بكر .
وإن كانت العبادات فرض كفاية ، كالعلم والجهاد : قدمت على النكاح إن لم يخش العنت " .
"Ketika seseorang sudah butuh dengan pernikahan dan dia khawatir terjerumus kedalam keburukan ketika meninggalkannya, maka dia boleh mendahulukan menikah dari haji yang hukumnya wajib.
Dan ketika tidak khwatir maka dia mendahulukan haji. Imam Ahmad menyebutkan hal yang demikian dalam riwayat sholih dan yang lainnya.
Adapun ketika bentuk ibadahnya adalah fardhu kifayah seperti menuntut ilmu dan jihad maka dia mendahulukan menuntut ilmu dan jihad ketika tidak khawatir jatuh kedalam keharaman."
(Lihat kitab al ikhtiyarat milik Imam abul abbas al ba'li halaman 175 dan syarh al 'umdah milik syaikul islam pada kitab al hajj 1/155)
Adapun yang bisa menggabungkan duakebaikan ini antara menuntut ilmu dan menikah maka itu kebaikan diatas kebaikan, adapaun jika tidak bisa maka memilih mana diantara keduanya yang mendatangkan maslahat lebih besar atas dasar ilmu bukan syahwat semata.
______
Yoshi Putra Pratama
(Mahasiswa UIM KSA)