Seorang wanita terkadang mengalami perubahan siklus haid, baik dari segi lamanya atau waktu datangnya. Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, lalu haidnya berubah berlangsung sampai tujuh hari atau delapan hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, lalu dia bersuci dalam masa lima atau enam hari.
Begitu pula waktu datangnya haid tersebut, terkadang maju atau mundur. Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan. Hal ini kadang terjadi karena keletihan fisik atau psikis, gangguan hormon, atau faktor lainnya dan hal yang dialami oleh kaum wanita secara umum.
Pendapat yang benar tentang masalah ini bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju atau mundur dari waktu kebiasaanya. Dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid sebagaimana yang disebutkan pada surah al baqarah ayat 222
Syekh al –‘Utsaimun menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan madzhab imam Asy-Syafi’i dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam al – Mughni (1/353) menguatkan pendapat ini katanya: “Seandainya adat kebiasaan menjdi dasr pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Isteri-isteri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja.”(Lihat Risalah Fi al- Dima’ al-Thabi’iyah)
Syekh al-‘Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: seorang wanita haid kedatangan haid sesuai kebiasaannya, lalu dia suci dan mandi. Setelah sembilan hari shalat, haid datang lagi sehingga tidak shalat selama tiga hari. Lalu dia suci dan shalat sebelas hari, lalu haidnya kembali seperti kebiasaannya, apakah dia harus mengganti shalatnya yang tiga hari atau dia menggapnya haid? Maka beliau menjawab: Haid apabila datang maka dia adalah haid, sama saja apakah jarak antara haid tersebut dengan haid sebelumnya panjang atau pendek, maka jika dia haid dan suci, dan setelah lima atau enam hari atau sepuluh hari haidnya datang lagi maka dia tidak shalat karena darah itu adalh haid, dan begitulah seterusnya, setiap kali dia suci lalu datang kembali haid maka wajib atasnya untuk tinggal (tidak shalat), adapun jika darah terus menerus keluar dan tidak berhenti kecuali waktu yang singkat maka dia mengalami istihadhah, maka pada saat dia tidak tinggal kecuali sesuai dengan waktu kebiasaanya. (fatwa Arkan al-iman No. 176)
Haid Yang Terputus-Putus
Yang dimaksud adalah disini adalah apa ynag kadang dialamai oleh wanita dimana sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar. Dalam hal ini terdapat dua kondisi
Pertama: jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istiadhah.
Kedua: jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka hari-hari keluarnya darah adalah haid, kecuali jika terjadi terus menerus sebagiman kondisi pertama. Sedangkan kondisi ketika darah tidak keluar, amak para ulama berbeda pendapat dalam hal menentukan apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum haid?
Pendapat pertama: Madzhab Imam al-Syafi’i, menururt salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pegarang kitab al-Faiq (dinukul dari keduanya dalam al-Inshaf), juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih’ kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya dalah haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan quru’ akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal kesulitan itu dinafikan dari syariat ini, alhamdulillah. (lihat Risalah Fi al-Dima’ al-Thabi’iyyah)
Pendapat kedua: yang mahsyur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah istihadhah. (Lihat Risalah al-Dima’ al- Thabi’iyyah)
Pendapat ini juga meruoakan pendapat Imam Malik dan salah satu pendapat Imam Syafi’i sebagaimna disebutkan oleh Ibnu Rusyd, dimana waktu-waktu keluarnya darah digabungkan dan mengabaikan waktu suci (darah berhenti), dan mandi pada setiap hari yang dia melihat keadaan suci dan shalat, karena dia tidak tahu boleh jadi itu adalah keadaan suci, apabila jumlah hari keluarnya darah itu mencpai lima belas hari maka dia istihadhah. (lihat Bidayah al-Mujtahid, 1/70)
Namun Ibnu Rusyd menyebutkan: “Dan yang sesuai dengan dasar-dasar madzhabnya bahwa waktu-waktu berhentinya darah adalah hari-hari haid bukan hari-hari suci, karena menurutnya minimal masa suci itu terbatas, yaitu lebih dari satu atau dua hari... . dan yang benar bahwa darah haid dan darah nifas mengalir lalu berhenti satu atau dua hari, kemudian kembali samapai selesai masa haid atau nifas, sebagaimana juga mengalir satu atau dua jam di siang hari lalu berhenti” (Lihat Bidayah al-Mujtahid,1/70-71)
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni (335): “jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyongyanya tidak dianggap sebagi keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan putus (sekali keluar sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pad asetiap saat berhenti keluarnya darah tnetu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”(AL Hajj:78)
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menujukkan bahwa ia suci. Misalnya berhentinya darah tersebut: pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat qashshah baidha’ (lendir putih).”
Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab al-Mughni merupakan pendapat moderat anatara dua pendapat diatas. Dan Allah Maha mengetahui yang benar. (Lihat Risalah Fi al-Dima’al_Thabi’iyyah).
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Sedekah Plus, Edisi 54 Tahun V Syawal-Dzulqa’dah 1439 H / Juli 2018 M, hal 27-29.
Penulis: Ustadzah Armida Abdurrahman, Lc (Ummu Hafshah)
Dosen STIBA Makassar