Buletin Muharrikah - Ada Apa dengan Palestina?

Muslimah
Admin WIM
11 Jun 2021
Buletin Muharrikah - Ada Apa dengan Palestina?

“Kita tidak perlu menjadi muslim untuk peduli pada Palestina, kita hanya perlu menjadi manusia”

Sebaris kalimat itu beberapa waktu ini menjadi begitu sering didengungkan. Sesuatu yang tidak ada salahnya, dan memang sangat berhubungan dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Manusia mana yang bisa dengan tega menyaksikan ratusan korban jatuh bersimbah darah –yang sebagiannya adalah perempuan dan anak-anak, serta rumah-rumah bahkan masjid yang roboh dihantam rudal? Cukup dengan menyaksikan itu saja, seharusnya kita telah tahu, kepada siapa kita akan berpihak.

Tapi, sebagai seorang muslim, mari kita menepi sejenak pada hadits pertama yang dihimpun Imam Nawawi dalam kitab Arba’in-nya. Sebuah hadits dengan untaian kata-kata yang lugas, namun berisi dasar yang penting dalam beragama, dan dalam kita menjalani kehidupan.

Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. (HR. Bukhari Muslim)

Maka, demikian pula saat kita menunjukkan keberpihakan dalam isu Israel-Palestina ini. Sebelum apapun yang kita lakukan untuk mengejawantahkan keberpihakan itu, sebaiknya kita mengecek dahulu niat kita masing-masing. Apabila semua itu kita lakukan ‘semata-mata’ atas nama kemanusiaan dan empati kepada pihak yang (kita anggap) lemah, maka tentu tak ada beda antara kita yang muslim, dengan yang selainnya. Sebab, hari ini kita dapat dengan mudah mendapati umat agama lain pun mendukung Palestina, orang-orang dengan pemikiran liberal pun mendukung Palestina, bahkan penganut Yahudi pun, tak semua berpihak pada zionis, sebagian dari mereka pun ada yang mendukung Palestina! Lalu apa bedanya dengan kita?

Belum lagi ketika kemudian berbagai hoax dan fitnah berhembus. Di zaman di mana mendapatkan ilmu semudah mengusap layar gadget, begitu pula mudahnya mendapatkan informasi-informasi sesat, yang parahnya dapat mengubah pola pikir kita. Dalam sekali pencet, jemari kita tak perlu susah payah untuk mempertanyakan perjuangan saudara-saudara kita sesama muslim di Palestina, berbagai macam isu tak benar dibalut video-video rekayasa pun bermunculan. Lalu, kita pun mulai meragu, minimal menjadi bingung dan memilih bungkam untuk bersuara. Ironisnya lagi, jika kemudian dengan mudah kita menyalahkan perjuangan para mujahidin yang tengah bertaruh nyawa di medan jihad, dan semua itu kita lakukan sambil rebahan dalam kamar nan sejuk di sebuah negeri yang damai.

Saat berita-berita yang salah itu hadir, maka bukan tidak mungkin kita mulai mempertanyakan unsur kemanusiaan pada isu ini, ketika korban mulai kita anggap sebagai pelaku, dan pejuang kita kira adalah teroris. Saat niat kita hanya sebatas empati, maka rasa itu akan mudah hilang ketika kita termakan informasi bahwa dua negara ini memang hanya selalu bebal dan menolak untuk didamaikan. Lalu kita pun kembali dalam hangatnya selimut masing-masing, memilih untuk cukup ‘sibuk’ dengan urusan sendiri-sendiri.

Maka, periksa kembali niat kita. Seharusnya kita tak mudah terdistraksi dengan fitnah apapun jika saja kita memandang kepedulian kita ini sebagai sebuah konsekuensi dari keimanan, sebuah tugas dari keyakinan. Sebab lagi-lagi, pada akhirnya, semua tentang al Aqsha...

“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku, kelompok yang selalu menolong kebenaran atas musuh mereka. Orang-orang yang menyelisihi mereka tidak akan membuat mereka goyah kecuali orang yang tertimpa musibah al awa’ (cobaan) sampai datang kepada mereka ketetapan Allah (pertolongan Allah) dan mereka tetap (teguh) dalam keadaan demikian. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, di manakah mereka?”. Beliau menjawab “Baitul Maqdis dan sisi Baitil  Maqdis” (HR.Ahmad)

Hadits di atas seharusnya sudah cukup untuk menjadi landasan kita, memberikan kita pilihan, apakah kita akan menjadi bagian dari perjuangan itu, atau kita hanya memilih untuk diam. Sebab pada dasarnya, Allah yang akan memenangkan. Tugas kita hanya mendampingi dan membersamai saudara-saudara kita yang mewakili kita pada garda terdepan perjuangan. Fakta tidak akan pernah bergeser bahwa di tanah Palestinalah Al Aqsha itu berada, maka sebab itulah ia harus selalu kita bela.

Dari Maimunah, budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sesungguhnya dia berkata, “Wahai Rasulullah berilah kami fatwa tentang Baitul Maqdis”, Nabi bersabda, “Datangilah dan salatlah di sana. Bila engkau tidak bisa datang ke sana untuk menjalankan salat di dalamnya, maka kirimkan minyak untuk menerangi lampu-lampunya” (HR Abu Daud)

Hadits di atas pun telah menunjukkan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan panduan kepada kita dalam bersikap tentang al Aqsha. Ketika jarak yang jauh mungkin menjadi kendala kita untuk langsung hadir bersujud pada lantai-lantai al Aqsha, maka langkah selanjutnya telah jelas; kirimkan minyak untuk menyalakan lampunya!

Hari ini, bukan hanya lampu al Aqsha yang perlu untuk dinyalakan. Kemuliaannya bahkan telah dinodai oleh zionis dengan serangan membabi buta, bahkan di waktu-waktu yang sangat sakral bagi kita. Lalu, bagaimana bisa kita tinggal diam?

Perjuangan muslimin Palestina sesungguhnya bukan hanya sebatas ketika agresi berlangsung. Mereka akan tetap di sana, bahkan mungkin seumur hidup dalam status ‘berjaga-jaga’, tak bergeser barang sedikit pun untuk memastikan al Aqsha tidak jatuh pada penjajahnya.

Dunia boleh menawarkan ‘solusi dua-negara’ dengan berbagai teori canggih mereka. Tapi, keimanan kita tentu akan mempertanyakan, bahwa seharusnya kita tak akan sanggup lagi untuk duduk satu meja dengan para pembunuh anak-anak kita. Bagaimana bisa kita percaya pada mereka yang bahkan sudah berkali-kali menyalahi perjanjian, dengan unsur penkhianatan yang barangkali telah bersatu dengan daging dan darahnya!

Jika para pemuda Palestina meneriakkan ‘Birruh, biddam, nafdiika ya Aqsha!”, kita yang jauh ini mungkin memang tak bisa secara langsung mempersembahkan darah dan nyawa kita sebagai bukti pembelaan pada kiblat pertama kaum muslimin itu. Tapi, kita selalu punya celah perjuangan, dengan cara terbaik yang kita bisa.
Ada doa, senjata kaum muslimin yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Doa yang benar-benar kita panjatkan dengan adab, dengan memilih waktu terbaik, dengan segala harap bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Harta kita bisa disalurkan untuk 'menyalakan lampu Al Aqsha' membantu perjuangan para pembelanya di garis terdepan. Lalu, jangan lupa untuk menunjukkan keberpihakan. Setiap kita bisa menjadi media dengan gadget dalam genggaman tangan. Tak perlu menunggu media mainstream, tak usah menunggu siapapun untuk bersuara. Suarakan semampu yang kita bisa. Tunjukkan bahwa kita tak akan membiarkan kaum muslimin di Palestina berjuang sendirian.

Penulis: Arrifaah
Editor: Ust. Irsyad Rafi, Lc

Download Buletin  Open PDF



Baca Juga