Menjadi seorang muslimah sholihah merupakan anugerah yang tidak terkira, apalagi di tengah zaman yang terus menggerus citra diri seorang muslimah, mengeksploitasinya hingga jauh dari sosok yang profil yang dikisahkan dalam Al-Qur’an.
Salah satu cita-cita tertinggi seorang muslimah adalah menjadi istri dan ibu. Bagaimanapun tingginya cita-cita duniawi seorang perempuan, di lubuk hati yang terdalamnya tetap tersimpan cita-cita besar untuk melakoni peran menjadi seorang istri dan ibu. Yah..karena memang itu adalah kebutuhan dan fitrah perempuan. Tidak sedikit wanita yang memiliki pendidikan tinggi, yang jika ia ingin berkarir di luar sana, ia bisa memiliki pangkat dan jabatan yang tak kalah dengan laki-laki, namun karena keinginan untuk tetap menomorsatukan keluarga menjadi utama dan pertama, dengan kesabaran dan keyakinan akan janji Allah ia pun bisa melakukan itu meski tetap banyak hal yang dikorbankan termasuk 'cibiran' dari orang lain. “Sekolah tinggi-tinggi kok ujungnya ngurusin anak aja”, begitu kalimat yang biasa terlontar.
Ketika akad telah terucap, tanda status telah berganti, dari sebelumnya sendiri kini ada yang menemani, melindungi, dan menafkahi. Saat itu juga, bagi seorang wanita ia telah memiliki peran sebagai seorang istri dan jika Allah memberi rezeki maka sebentar lagi predikat sebagai ibu juga akan diemban. Perjuangan baru pun dimulai, dari yang sebelumnya hanya mengurus diri sendiri, kini keluarga menjadi ladang perjuangan utama. Mengurus suami dan rumah tangga menjadi prioritas agar ia menjadi baiti jannati (rumahku surgaku), rumah yang akan menjadi tempat peristirahatan bagi seluruh anggota keluarga, bukan hanya bagi fisik yang lelah tetapi juga bagi jiwa agar senantiasa sakinah.
Perjuangan akan bertambah jika predikat sebagai ibu pun menyambangi, perjuangan yang keras tanpa henti akan bermula. Dari sejak embrio itu terbentuk, zat gizi dalam tubuh ibu menjadi “bahan baku” untuk mendukung terbentuknya sel demi sel hingga menjadi janin. Hormon yang bekerja sempurna memberikan efek berarti bagi fisik ibu. Maka muncullah mual, muntah atau biasa diistilahkan morning sickness karena biasanya tanda-tanda itu muncul di pagi hari meskipun tidak semuanya seperti itu. Pagi yang biasanya keceriaan dan semangat bermula tiba-tiba berubah menjadi tidak nyaman. Makanan yang dulu begitu favorit, jangankan dilahap, dicium baunya pun tak enak. Sehari serasa sepekan, sepekan serasa sebulan.
Pekan demi pekan mulai terhitung, 4 pekan, 5 pekan, 6 pekan, barangkali dengan beratnya menjalani hari hari itu membuat hati tak sabar untuk segera ke pekan 36, saat dimana penantian untuk segera bertemu dengan buah cinta sudah dekat. Namun pekan-pekan itu pun terlewati dengan berat. Begitu berat melewati masa-masa “tak nyaman”, setelah masa itu berlalu, kesulitan-kesulitan lain masih menyambangi, nyeri panggul, kram kaki dan tungkai, sulit tidur dikarenakan perut yang semakin membesar, jangankan tidur, menemukan posisi yang pas untuk tidur saja sulit. Napas yang terengah-engah meski tak naik tangga, berdiri yang sulit menjadi teman sehari-hari.
Namun dibalik perjuangan itu, ada keceriaan kecil di sana, senyum sumringah yang menghiasi bibir tatkala melihat betapa lihainya “manusia kecil” itu bergerak dalam rahim. Jantung yang tiba-tiba berdegup kencang saat mendengar suara jantung si calon bayi berdetak. Ah..serasa kelelahan itu sirna seketika, dan semakin rindulah sang ibu untuk segera menatap wajah sang buah hati. Semakin penasaran untuk segera memegang tangan mungil si kecil dalam buaian.
Proses menanti dan menghadapi masa persalinan akan menjadi puncak perjuangan sang ibu, detik detik kontraksi yang begitu menyakitkan, bahkan digambarkan sakit yang untuk mengeluarkan sepatah kata pun tak bisa. Di lain kisah, mungkin ada juga ibu yang tengah dag dig dug di pembaringan kamar operasi, ketika karena sebuah alasan medis, dengan pertimbangan yang panjang dan tenaga kesehatan dan dengan perundingan dan persetujuan keluarga harus menjalani sectio cesaria. Pilihan yang juga tak kalah perjuangannya. Meski mungkin tidak merasakan kontraksi luar biasa, tetapi perjuangan menghadapi masa pemulihan pasca SC dengan bayi yang sudah di depan mata yang ingin diberikan haknya, ditimang dan disusui tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Fenomena bayi yang selalu begadang efek ritme tidur yang belum menyesuaikan dengan alam dunia juga menguras tenaga dan mengurangi waktu istirahat sang ibu. Sindrom baby blues pun mudah menjangkiti apalagi jika keluarga tidak memperhatikan kondisi sang ibu.
Yah.. begitulah perjuangan melahirkan. Itu baru melahirkan. Belum merawat dan mendidik anak hingga dewasa. Episode berganti dengan perjuangan menyusui sang bayi secara eksklusif, hak dan makanan bayi yang utama dari umur 0-6 bulan dan dilanjutkan hingga umur dua tahun. Manusia kecil itu akan selalu bergantung pada ibunya. Maka semakin banyak waktu yang akan ibu habiskan untuk menimang bayi mungilnya, belum lagi pekerjaan rumah tangga yang selalu mengantri tiap harinya seakan tak ada habisnya.
Episode berganti lagi ketika anak mulai diberikan MPASI. Kadangkala sang ibu akan merasakan kegamangan yang luar biasa jika anaknya tak mau atau sulit makan. Tantangan untuk memberikan makanan sehat seimbang kepada bayi akan terus menggelayut di pikiran sang ibu.
Episode terus berganti dengan berkembangnya kemampuan anak dari yang semula hanya bisa berbaring, lalu guling-guling, duduk, berdiri dan berlari. Bayi yang hanya bisa berada di tempatnya itu, tanpa perlu khawatir ia akan terjatuh lama kelamaan akan selalu meninggalkan rasa was-was jika tak melihatnya meski hanya sedetik. Jalannya yang masih belum stabil, mudah terpeleset dan sebagainya membuat ibu harus serba waspada dalam setiap pergerakan sang bayi.
Ah..kalau kita ingin mengurai setiap episode perjuangan itu barangkali bisa menjadi berjilid-jilid buku layaknya buku-buku fenomenal karya para ulama. Barangkali karena sebab itulah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya oleh seorang laki-laki tentang siapa yang paling berhak untuk kita berbakti kepadanya, beliau menjawab ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata; “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata; “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Kemudian ayahmu.”
Ibnu Baththal rahimahullah menyebutkan bahwa diantara hikmah didahulukannya ibu dari bapak karena beliau memiliki tiga kekhususan yang tidak dilakukan oleh bapak kepada anaknya yaitu: mengandung, melahirkan dan menyusui.
Subhanallah...itulah salah satu keagungan sekaligus kabar gembira untuk para ibu di tengah perjuangannya. Bahwasanya dalam Islam memang ada prioritas dimana kita harus lebih berbakti kepada orang yang paling baik terhadap kita, tentu saja kepada orang tua. Perjuangan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan dan menyusui dengan segala kesukaran yang dihadapi 'dihargai' Rasulullah dengan didahulukannya ibu atas bapak dalam hal berbakti kepadanya. Ibu hamil dan menyusui bahkan diibaratkan seperti orang yang sakit sehingga boleh untuk ia tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yang kita ketahui merupakan ibadah wajib bagi muslim mukallaf. Maka sudahkah kita berbuat baik kepada kedua orang tua kita terutama ibu kita??
Penulis: Qanitah Hafidzah