Terpasung Kegagalan

Hikmah dan Kisah
Admin WIM
06 Nov 2018
Terpasung Kegagalan

Seandainya setiap janin boleh meminta, maka tak satupun memilih dilahirkan dari orang tua yang kelak mengantarnya menyelisihi fitrah. Manusia tentu mustahil mampu memilih dari mana ia akan memulai kehidupan. Maka awal yang kurang berkenan, tidak menjadi kemutlakan dari sebuah akhir yang buruk.  Peluang perubahan, dibentangkan Allah di setiap sudut bumi-Nya. Ada yang mencarinya, ada yang justru meninggalkannya. 

Kawan, saat engkau memulai nafasmu dengan catatan dosa, engkau, atau siapapun tak serta merta menjadi layak melafaz kepastian, bahwa demikian pula catatan itu akan diakhiri. Pun jika ia adalah diri kita sendiri. Berhentilah memasung kebaikan dalam ruang gelap bernama masa lalu. Sebab telah dikabarkan oleh baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam, tentang pendosa yang tertakdir menapak jalan surga, kala neraka melambai sehasta di hadapan. Sebaliknya, ahli ibadah yang terjungkal ke neraka ketika ia dan surga terjarak oleh hanya sehasta saja.1 

Seringkali kita terjebak mengisi hati dengan prasangka, atas setiap kejadian buruk, kegagalan, atau bahkan keberhasilan yang hadir di depan mata. Bagi kita selamanya gagal adalah sial dan berhasil sudah pasti beruntung. Vonispun jatuh, tanpa sempat kita menoleh pada sisi hikmah yang tak sesederhana hitung-hitungan duniawi. Maka Islam hadir meluruskan kembali cara pandang setiap kita perihal pergantian roda kehidupan. Tentang pergiliran antara takdir baik dan buruk. Hingga tentang potensi dosa dan pahala pada diri manusia, yang mana keduanya melekat dalam jiwa secara bersamaan.2  

Tatkala Nabi Adam ‘alaihissalam menyadari kesalahannya memakan buah yang dilarang, ia akhirnya diturunkan ke bumi sebagai konsekuensi. Penyesalan mendalam meliputi Adam dan Istrinya, Hawa. Tergambar sangat jelas dalam doa keduanya yang diabadikan Al Quran. 

 
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ 

Keduanya berkata,  “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,  niscaya pastilah kami termasuk orang- orang yang merugi. [Al-A’râf/7:23 

Pada satu sisi, tentu itu sebuah kesalahan. Akan tetapi, melalui kejadian tersebut, kakek moyang kita justru telah mewariskan teladan tak terbandingi perihal pertaubatan. Yang berdenyut di setiap nadi kita sebagai sunnatullah kehidupan; seakan jawaban yang telah disiapkan Allah, tentang bagaimana seharusnya bila anak cucunya kemudian terjatuh dalam dosa.  

Nabi Allah yang mulia itu alaihissalaam, telah mengajarkan bahwasanya kegagalan bukanlah alasan menghentikan sebuah ketaatan. Saat kealpaan bertandang, dan bahkan menyekap sekujur jiwa raga, yakinlah  selalu masih ada celah untuk kembali. Setiap kita akan terus berhadapan dengan kegagalan, setidaknya ketidaksempurnaan hingga kematian menjemput. Tak seorangpun yang begitu hebatnya mampu meletakkan keimanannya pada titik konstan. Ada masa ia naik juga ada masa turun; penyikapan ketika sedang tergelincir itulah yang berbeda antara satu hamba dengan hamba lainnya. Ada yang sadar: dengan apa seharusnya dosa bergandengan (yakni taubat). Namun, adapula yang keliru: memilih dosa baru sebagai pasangan bagi dosa lama.   

Pada banyak episode, kegagalan selalu berhasil menundukkan kita. Entah itu gagal menjadi sukses pada satu pekerjaan, atau bahkan gagal menjadi istiqamah dalam sebuah ketaatan. Jiwa yang masih tersisa keimanan di dalamnya, akan gelisah dan tak tenang. Benar, bahwa sesal adalah sesuatu yang wajib ada, namun ia hanyalah kesia-siaan bila pada akhirnya dibawa pada keputusasaan. Tak jarang, kesemuanya malah larut menjadi sebuah formula pembenaran atas kesalahan demi kesalahan. Maksiat demi maksiat.  

Maka dimana kita dari Bapak seluruh manusia yang gagal menetapi surga, selepas surga bahkan tempat pertama kali ia dihidupkan? Adakah kita atau Adam yang lebih pantas atas penyesalan dan kecewa? Ketika engkau telah sampai di garis finish, lalu tiba-tiba sebuah kekuatan mendorongmu mundur jutaan langkah ke belakang. Dari surga yang penuh kenikmatan, ke dunia yang susah payah.  

Lalu apakah ketika Nabi Adam gagal mendiami surga, ia lantas menjadi perusak di muka bumi? Ia marah mencak-mencak atas keputusan Allah? Bukankah ia juga sudah bertaubat? Mengapa tak Allah ampuni saja dan biarkan Adam tetap di surga? 

Para pentaubat sejati seringkali harus menegaskan eksistensi taubatnya. Mungkin dengan sesuatu yang akan menguji sabarnya, atau mengetes syukurnya. Dan Adam bapak kita, menjadi yang pertama mengajarkannya.  

Saat diturunkan ke bumi, Adam dan Hawa menjadikan seluruh sisa usianya sebagai ladang amal shalih, ibadah yang tak putus, serta pijar kebaikan yang terus berkilau hingga Allah memanggil mereka kembali. Cukuplah masa lalu dijadikan sebagai cambuk dalam berkebaikan di masa depan, setiap kali mengingatnya. Bukan malah kerangkeng yang justru membatasi langkah. 
Duhai, adakah yang lebih indah dari akhir yang baik? Lalu bukankah amalan terletak pada akhirnya bukan awalnya? Maka mengapa kita begitu tergesa menyimpulkan sebuah kegagalan? Sedang boleh saja, sebuah jalan menuju kesuksesan baru saja dibentangkan 

Sama halnya pula, mengapa kita begitu terburu membuang segala harapan, untuk para pendosa? Mereka yang tampak begitu dekat dengan neraka, tergesa kita vonis akhir kehidupannya. Kita abai dari do’a serta kelembutan prasangka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,  

وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ                                                                                                                               

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607) 

Selama kita belum sampai di akhir perjalanan, maka tahanlah setiap penilaian. Jangan mendahului Allah dengan ungkapan dan prasangka buruk. Untuk diri kita juga tentu untuk siapa saja. Allah Maha mengetahui sedang manusia tiada mengetahui. 

Islam mengajarkan agar kita selalu berada di titik pengharapan bukan di titik pemastian. Demikian agar kita terus beramal, tiada henti memohon dan berharap. Allah seru sekalian hambaNya agar menjauhi sikap putus asa. Sejauh yang mampu dilakukannya. Meski seluruh pelupuk telah tertutup kabut kegagalan, selalu harus ada hati yang ridho atas pahala kesabaran dari setiap ujian.  

Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim) 

Sebaliknya, setelah amalan shalih yang dimudahkan, maka tak lantas hati dipersilahkan begitu saja mengecap kepuasan. Selalu ada cela kekurangan yang wajib diperbaiki. Selalu ada titik kesalahan yang wajib ditaubati. Pun selalu ada kesempatan menjadi lebih baik. 
Pada bagian ini, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah salah satu teladan terbaik. Dunia ditakdirkan dalam genggamannya. Tak hanya manusia, jin dan hewanpun takluk di bawah titahnya. Sedang ia juga seorang Nabi dan Rasul yang mulia. Namun pada puncak kenikmatan dan karunia yang dimilikinya, sang Nabi dan Raja itu justru tersungkur tanpa daya. Menyadari kepapahan diri. 


هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ  

“Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40) 

Di atas seluruh teladan, Rasul kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah menunjukkan jalan hidup yang paripurna. Saat terpuruk, saat jaya, saat keliru, saat amal shalih, semua tuntunannya telah jelas: bagaimana seorang mukmin bersikap di setiap ruang kehidupan yang sedang disinggahinya. Maka tersisalah bagi kita untuk menapakinya saja. Berkonsisten di atasnya sembari memanjat tak henti, diwafatkan di atasnya. Husnul khatimah. 

Maka, kawan…lihatlah kedepan. Jika kakimu masih menjejak bumi, maka kesempatan itu masih ada dan selalu terbuka. Bersegeralah! 


قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ  

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar:53-54) 


Penulis: Nafisah Ikhwan

Baca Juga