Rutinitas harian manusia akhir zaman memang dibentuk oleh aktivitas yang beragam, namun sadarkah kita bahwa umumnya keragaman itu memiliki pola dan terkadang polanya itu-itu saja? Pagi hingga siang bahkan sampai sore disibukkan oleh rutinitas di sekolah, kampus, atau tempat kerja. Tak jarang malam hari masih dihabiskan untuk melanjutkan tugas hingga larut, kemudian tidur, begitu seterusnya, hingga usia senja. Ya, waktu memang terasa singkat. Bagaimana dengan waktu luang di sela-sela rutinitas? Hiburan tak jarang menjadi jawabannya. Menghibur diri dengan Fashion, Food dan Fun. Seolah waktu hanya didedikasikan untuk mencari kebahagiaan duniawi saja, seakan materi menjadi tujuan hidup manusia.
Bagaimana tidak, sedari kecil pola pikir manusia sudah dibentuk untuk melakukan hal seperti itu. Aktivitas masa kecil dipenuhi oleh nyanyian, musik, tarian, dongeng, kisah superhero dari tokoh fiksi, sendau gurau, dan hiburan lainnya. Tak terasa pena sudah terangkat (baligh), namun pola hidup masih tak jauh dari pola sebelumnya, hanya saja fase ini manusia akan lebih serius untuk meraih impian duniawi, hingga menua. Berusaha untuk meraih impian memang penting, namun akan cacat jika tidak dibarengi dengan agama. Tanpa sadar pola pikir manusia akan terbentuk dengan standar yang sama “kesuksesan diukur dari materi” manusia berlomba-lomba menuntut ilmu untuk mengejar materi, bukan keberkahan hidup, sehingga tarbiyah, tsaqofah dan agama menjadi persoalan yang terabaikan.
Alhasil, dari generasi ini banyak bermunculan seorang ahli pada ilmu dunia namun nihil pada ilmu akhiratnya. Ketika ditanya perkara tsaqofah Islam, mereka berdalih dengan alasan tidak punya waktu. Namun aktivitasnya banyak dihabiskan oleh perkara-perkara yang tiada guna, hedonis, menghibur diri dengan hal-hal yang tidak diridhoi Allah bahkan tak jarang berujung kemaksiatan dan dosa besar. SubhanAllah. Sampai kapan akan seperti ini? Sampai kapan? Akankah waktu hanya diprioritaskan untuk duniawi saja? Bukankah dunia diciptakan untuk manusia, dan manusia diciptakan untuk Akhirat? Ummat Islam, bangunlah!
Penulis pernah menyaksikan seorang ayah yang tengah menasihati anaknya. Menatap anak itu dengan penuh kesungguhan, mengajarkannya makna kehidupan. Ayahnya membuat perumpamaan dengan menggunakan angka perbandingan 60 : 1.000.000.000 (enam puluh banding satu milyar), tentu menghasilkan presentasi yang amat kecil, hanya 0, 00000006 dan tidak berarti apa-apa. Hingga akhirnya penulis mengerti bahwa perbandingan yang berusaha digambarkan adalah perbandingan masa manusia di dunia dan di akhirat. Angka enam puluh, merupakan perwakilan seseorang yang hidup di dunia selama 75 tahun (dengan asumsi baligh pada usia 15 tahun), maka segala amal perbuatannya selama enam puluh tahun, (dihitung setelah baligh) akan menjadi penentu bagi kehidupannya di akhirat. Angka satu milyar merupakan perumpamaan lamanya kehidupan akhirat.
Kemudian ayahnya melanjutkan, persentasi pertama merupakan angka yang sangat kecil dan tidak berarti apa-apa. Lantas bagaimana dengan kehidupan akhirat yang disebut sebagai “abadaan” seraya menukil potongan ayat “khoolidiina fiiha abadaan” (Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya). Maka perbandingannya akan menjadi 60 : ∞ (tak hingga). Tidak terbayang betapa banyak angka nol yang akan mengisi hasil perbandingan tersebut. Celakanya, angka 60 itulah yang menjadi penentu nasib manusia untuk kehidupan “selama-lamanya” di akhirat. Lantas bagaimana dengan remaja yang meninggalkan dunia hanya satu tahun setelah ia baligh? Maka waktu satu tahun inilah yang menjadi acuan dan penentu nasibnya di kehidupan yang “selama-lamanya”. Selamanya di surga? Atau selamanya di neraka?
Maka sungguh Maha suci Allah, manusia memang dalam keadaan merugi. Allah telah bersumpah demi waktu, bahwa saya, Anda dan semua manusia berada dalam kerugian. Namun, Rabb yang maha penyayang dalam kelanjutan ayat-Nya memberikan bisyarah (berita gembira) dengan mengecualikan hamba-Nya tergolong dalam kerugian bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih serta saling nasihat-menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Allahu Akbar.
Menyelami Bisyarah
Allah telah menyampaikan bisyarah bagi manusia bahwa terdapat empat poin utama sebagai bekal agar terhindar dari lembah kerugian.
Pertama, beriman. Iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, nabi-nabiNya, Hari Akhir, serta Qada dan Qadr. Iman didasari atas tauhid yang ada dalam diri tiap hambaNya, sedangkan tauhid diikrarkan dengan syahadat yaitu persaksian seorang hamba bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah subhaana wa ta’aala dan Nabi Muhammad adalah Rasul Allah. Apakah kalimat syahadat cukup “diucapkan saja” oleh seorang hamba? Tentu saja tidak. Persaksian yang diucapkan perlu memenuhi tujuh kondisi yaitu 1)Al-‘Ilm/Ilmu, 2)Al-Yaqeen/Yakin, 3)Al-Ikhlaas/Ikhlas, 4)As-Sidq/Jujur, 5)Al-Mahabah/Cinta, 6)Al-Inqiyaad/Taat/Patuh, 7)Al-Qabul/Menerima (penjelasan lebih lengkap mengenai tujuh poin di atas, dapat dilihat pada fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid). Selain itu, sebagai seorang hamba juga perlu mengetahui apa saja yang dapat membatalkan keislaman agar tidak terjatuh dalam kekufuran. Ironisnya perkara pembatal keislaman masih sering dilakukan oleh sebagian umat muslim baik secara sadar maupun tidak. Semoga Allah memberi taufik kepada hamba-hambaNya.
Kedua, Beramal sholih. Dikutip dari An-Nafahat Al-Makkiyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi beramal sholih yang di maksud pada ayat ini “Mencakup seluruh perbuatan baik, zahir maupun batin, yang berkaitan dengan hak-hak Allah dan hak-hak hambaNya, yang wajib dan dianjurkan”. Perlu digaris bawahi bahwa amal shalih tidak hanya mencakup pada ibadah-ibadah mahdhah saja, tetapi juga mencakup ibadah ghairu mahdhah. Perkara-perkara dunia pada aspek ekonomi, sosial, politik dan aspek penting lain sepatutnya dilandaskan oleh syariatNya, hak-hak Allah dan hak-hak hambaNya juga perlu ditunaikan dalam perkara ini. Allah telah memberi aturan dan aturan inilah yang diridhoi, sungguh Allah sebaik-baik pengatur.
Ketiga, saling nasihat-menasihati untuk kebenaran. Inilah jalan dakwah dan tarbiyah, menyampaikan kebenaran, menjadi penolong-penolong agama Allah. Dalam surah Adz-Dzariyat: 55 , Allah subhaana wa ta’aala berfirman :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
Berdasarkan ayat di atas, dapat dipetik bahwa peringatan sungguh bermanfaat bagi orang-orang mukmin. Tak heran, lupa sudah menjadi fitrah manusia, maka nasihat untuk kebenaran adalah hal yang amat berguna. Ditambah dengan kondisi akhir zaman yang kian merusak ideologi umat, karena diperangi secara fisik maupun psikis. Syirik, pembunuhan, zina, khamr dan dosa besar lainnya telah menyebar di muka bumi. Propaganda musuh islam yang masuk dan bersembunyi dibalik fashion, food, dan fun khas “gaya hidup millenial” katanya, berperan besar dalam kerusakan akhlak, menjauhkan manusia dari millah Ibrahim. Mereka tak henti-hentinya berusaha merampas keimanan dan mencabut Al-Qur’an di dada kaum muslimin.
Tak dapat dipungkiri bahwa dakwah dan tarbiyah merupakan aspek yang penting dalam kehidupan. Perkara ini tidak hanya dipikul oleh pengemban dakwah yang sudah memiliki ilmu tingkat tinggi. Setiap muslim dituntut untuk turut andil pada jalan ini, bahkan seorang muallaf sekalipun. Tepatnya pada awal tahun 2018 lalu, penulis pernah didakwahi oleh seorang muallaf, padahal usia keislamannya baru setahun. Usianya masih belia, 19 tahun kala itu. Dia tinggal di lingkungan kristen orthodox, banyak juga yang tidak mengenal agama, menyebabkan kerusakan akhlak dan pergaulan bebas telah merasuki kebanyakan remaja di sana, jauh lebih parah dari negeri ini. “Soon will be hard times” katanya, ternyata dia sudah belajar perihal kondisi ummat, dajjal, dan perkara lain mengenai akhir zaman, bahkan membahas salah satu hadits Rasulullah dan memberitakannya kepada penulis. Sejujurnya saat itu penulis belum tahu mengenai hadits tersebut, ilmu dan hikmah baru penulis dapatkan dari dakwahnya, Alhamdulillah. Maha benar Allah, peringatan sungguh bermanfaat bagi orang-orang mukmin. Ada rasa malu dan haru kala itu, lantaran semangatnya untuk berdakwah dan menuntut ilmu mungkin masih kalah dengan remaja dilingkunganku, walau mayoritas muslim.
Memang, pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, harta dan bahkan jiwa demi meninggikan kalimat-kalimat Allah perlu dilakukan oleh setiap muslim, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Al-Qur’an dan hadits perlu menjadi acuan utama dalam menyampaikan dakwah, karena taklid buta juga dapat menyesatkan ummat. Selain itu, dalam melaksanakan dakwah dan tarbiyah, perkara batin perlu diselaraskan karena sesungguhnya amalan tergantung pada niat. Saat dihadapkan dengan pertanyaan “Sebenarnya karena siapa saya berdakwah?”. Maka jawaban “Karena Allah” musti terkandung dalam benak seorang muslim. Sudah luruskah niat kita? Sungguh Allah maha mengetahui apa yang ada di dalam benak hambaNya.
Keempat, saling menasihati untuk kesabaran. Sabar merupakan hal yang tidak mudah memang, karena perkara ini melingkupi penguasaan dan pengendalian diri. Saling menasihati untuk kesabaran akan ketetapan Allah, sabar akan cobaan dan ujian. Perkara ini juga tak dapat lepas dari aspek dakwah dan tarbiyah. Sudah fitrahnya jalan ini memiliki rintangan dan halangan, ada saja pihak yang menghalangi jalan dakwah. Seorang pendakwah sejatinya perlu menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan, dan bukan apa yang ingin mereka dengar. Untuk itu, penolakan, penghinaan, pengancaman bahkan penganiayaan bukan lagi hal yang tabu dalam medan dakwah, namun bukankah bersama kesulitan ada kemudahan? Allah mengetahui apa dan bagaimana perjuangan hambaNya, bersiaplah untuk menerima ganjaran dariNya wahai orang-orang yang berdakwah di jalanNya.
Belajar dari surah Al-Ashr, menyadarkan manusia akan pentingnya pemanfaatan waktu agar tidak termasuk ke dalam golongan orang yang merugi. Salah satunya dengan dakwah dan tarbiyah. Karenanya, untuk waktu yang telah berlalu, taubat nasuha dan mohon ampun/istighfar dapat menjadi obatnya. Untuk waktu yang diberikan saat ini, pemanfaatan sebaik-baiknya untuk membuat Alllah ridho dapat menjadi solusinya, dan untuk waktu yang akan datang, doa keteguhan hati agar senantiasa berada di jalan yang Haq jangan sampai terlupa. Sampai kapan? Sampai kelak ruh mendengar kalimat ini ketika berpisah dengan jasadnya:
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُ
ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ
“wahai jiwa yang tenang!, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang Ridho dan diridhoi-Nya”. (Q.S Al-Fajr :27-28).
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang diridhoi Allah hingga akhir hayat. Aamiin.
==================
Penulis: Firda
Editor: Ustadz Muhammad Istiqamah, Lc.