Menjadi Orang Tua Pembelajar

Parenting
Admin WIM
15 Oct 2018
Menjadi Orang Tua Pembelajar

Memiliki keturunan merupakan impian tiap orang. Selain sebagai penyejuk hati, anak adalah harapan masa depan, yang akan merawat orang tua ketika telah menua. Anak  juga akan mendoakan jika telah tiada, yang akan menjadi amal jariyah bagi orang tua. Tentu itu bisa dirasakan jika anak itu adalah pribadi yang sholih, yang dididik dengan baik, bukan hanya sekadar tumbuh.

Nah, ketika Allah menganugrahkan kita keturunan maka kita harus mendidik dan merawatnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemiliknya yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan kita bahwa anak adalah amanah maka dia harus dijaga dan penjagaan yang paling utama yakni menjaganya agar ia bisa bahagia dunia akhirat, jangan sampai mereka terjerumus ke dalam siksa Allah. Ini amanah besar bagi kita ketika diberikan amanah berupa anak keturunan. 

Anak lahir ibarat kertas putih, sesuai dengan fitrahnya, tanpa dosa sedikit pun sebagaimana Rasulullah mengabarkan. Setiap anak yang lahir itu sesungguhnya baik, lurus keyakinannya, beriman kepada Allah. Nah pertanyaannya mengapa banyak manusia yang kurang baik perangainya, aqidahnya dangkal atau bahkan melenceng? Itu disebabkan karena didikan yang tidak sesuai fitrah, entah itu ia dapatkan dari orang tuanya maupun lingkungannya, “Setiap anak dilahirkan diatas fitrah (yaitu agama Islam), kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari). 

Para orang tua yang baik, kita berharap bahwa anak-anak kita bisa menjadi penyejuk mata kita bukan hanya pada saat dia kecil saja yang menggemaskan nan lucu, senyumnya yang membuat hati terpukau, kaki dan tangannya yang mungil membuat kita serasa ingin terus memegang dan menciumnya, tetapi juga ia menjadi penyejuk mata (qurrata a’yun) bagi kita para orang tua ketika dia sudah dewasa. Banyak kasus, ketika anak telah menjadi dewasa, ia menjadi pribadi yang tak beradab dan bahkan menjadi beban pikiran bagi orang tuanya, sehingga akhirnya tidak lagi menjadi penyejuk mata. Sebagai orang tua, kita semua berharap mulai dari lahirnya hingga mereka dewasa, mereka senantiasa menjadi penyejuk mata kita.

Allah mengingatkan kita didalam Al-Qur’an, bahwasanya salah satu fitrah manusia yang Allah berikan adalah kecintaan kepada pasangan dan anak-anak. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (TQS. Ali Imran: 14). Karena Allah sudah memberikan kecintaan itu kepada kita, maka menjadi sunnatullah kita mencintai pasangan dan anak-anak kita.  

Anak juga adalah kebanggaan orang tua. Ketika orang tua berkumpul, maka tak lengkap rasanya jika tidak saling membicarakan prestasi anak. Ada yang menceritakan betapa pesatnya perkembangan si anak, dari mulai tengkurap, duduk, berdiri hingga berlari. Ada juga yang begitu bangga dengan keberhasilan anaknya memasuki perguruan tinggi favorit, lulus tanpa tes, dsb. Adapula yang begitu takjub dengan anaknya yang berprestasi di pesantren dan yang telah berhasil mengkhatamkan hafalannya 30 juz. Hal semacam itu sering terjadi dan ini membenarkan kalimatullah bahwa orang tua akan membangga-banggakan anaknya. Kecintaan telah mengantarkan pada ketakjuban dan ini salah satu kebahagiaan kecil menjadi orang tua.

(1) Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (2) Sampai kamu masuk ke dalam kubur. (3) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (4) janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (5) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.” (TQS. At-Takatsur: 1-4)

Kecintaan pada anak yang merupakan fitrah bagi manusia seyogyanya tida menjadi pisau bermata dua bagi orang tua. Sekali lagi, kecintaan pada pasangan dan anak adalah lumrah bagi manusia dan itu adalah salah satu kebahagian di dunia ini. Namun tentu saja, kecintaan pada anak harus punya batasan, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang akan mempengaruhi proses pendidikannya sebagai manusia. Nah dari sinilah para orang tua harus berhati-hati. Terkadang atas nama cinta, perlakuan kita justru berdampak yang buruk pada anak-anak. Atas nama cinta, kita terlalu memanjakan anak-anak dengan ragam fasilitas yang membuatnya bisa terjatuh  pada kerusakan akhlaknya. Atas nama cinta kita tidak rela menegurnya ketika ia salah karena tak ingin membuatnya kecewa. Atas dasar cinta kita tidak tega kalau tidak memenuhi permintaan anak-anak.

Karena kecintaan yang mendalam, orang tua rela memanjakan anaknya dengan segala macam mainan, mulai dari mainan yang harga ribuan hingga jutaan. Bermain memang merupakan salah satu kebutuhan anak, dengan bermain ia bisa banyak belajar, namun tentu saja ada nilai-nilai yang harus kita anut dalam proses ini. Apakah mainan itu sudah sesuai dengan fungsinya? Apakah masih dalam batas sewajarnya, tidak terlalu berlebih-lebihan? Apakah mainan itu tidak membuat anak kemudian menjadi sosok egois karena kita tidak mengajarkan pentingnya berbagi (misalnya), karena kadang ada juga sebagian orang tua yang setiap anaknya punya mainan tersendiri, padahal sejak dini anak juga bisa diajarkan konsep berbagi.

Banyaknya fasilitas yang mewah juga kadang menjadi sesuatu yang orang tua perlihatkan sebagai sebuah bentuk kecintaan. Kamar yang full AC, televisi di setiap kamar, sudah memiliki smartphone padahal masih balita, meski kadang alasannya adalah untuk bermain, namun ini bisa menganggu perkembangannya. Orang tua kadang lupa, bagaimana jika suatu saat kondisi ekonomi keluarga malah berbalik, sanggupkah ia tetap hidup meski dengan keterbatasan, mengingat tidak selamanya kita akan bersama dengan anak kita. Siapkah ia menerima konsep hidup dengan penuh keterbatasan.  

Banyak juga para orang tua yang selalu memenuhi permintaan anaknya. Setiap apa yang diminta anaknya selalu dipenuhi tanpa berpikir dampaknya. Yang ia inginkan hanya bagaimana anaknya senang.  Itu hanya sekelumit contoh.  

Sobat pembaca yang baik, “Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah bagi kalian” (TQS. Al-Anfal: 28). Fitnah yang dimaksud adalah cobaan dan ujian. Menjadi orang tua memang penuh ujian, antara membuktikan cinta dan menanamkan nilai-nilai itu butuh kesabaran dan pemikiran yang jernih, agar cinta tak dimaknai sebaliknya oleh anak jika ternyata yang dia harapkan pada saat itu tidak sesuai dengan apa yang kita berikan sebagai orang tua.

Karena anak menjadi fitnah, makanya kita harus berhati-hati. Jangan sampai mereka mnyengsarakan kita. Kita berharap dengan anak ini kita bisa menjadi bahagia, menjadi sebab bisa masuk surga, bersamanya. Kita tidak berharap justru anak-anak menjadi penyebab orang tua dimasukkannya ke dalam neraka yang siksanya tak terkira.

Mencintai dan membuktikan cinta kita sebagai orang tua kepada anak tentu boleh saja, namun hendaknya setiap orang tua berpikir jangka panjang, tentang bagaimana kita menanamkan nilai-nilai pada anak kita. Memang berat mendidik anak sesuai fitrah, namun tentu saja ikhtiar tidak akan menghianati hasil. Sebagai orang tua harus senantiasa belajar dan terus belajar. Kalau untuk mengejar pekerjaan dan kedudukan yang ‘wah’ saja kita rela menempuh pendidikan yang lama dan mengeluarkan harta yang tak sedikit, nah bagaimana lagi soal amanah sebagai orang tua. Anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan, kita sebagai orang tua yang ingin memiliki anak. Maka, mendidik dan menjaga fitrah anak adalah sepenuhnya tanggung jawab kita.

Baca Juga