Islam tumbuh dan berkembang hingga ke pelosok dunia tidak terjadi spontan dalam waktu yang ringkas. Sejak Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menerima wahyu pertama, saat itulah dakwah bermula. Perjuangan yang ditempuh bukan ibarat berjalan diatas jalan tol, namun dihiasi dengan sejuta kisah, mulai peristiwa menggembirakan, mengharukan, menyedihkan hingga kisah heroik menjadi serpihan lika liku perjuangan.
Rasulullah tak sendiri, ada begitu banyak sahabat yang setia beriman, menemani dan membantu perjuangan beliau dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Pengorbanan atas dasar cinta kepada Islam dan keimanan yang tertancap kuat di hati mereka. Bukan hanya tenaga dan harta, bahkan nyawa mereka melayang syahid ilallah.
Dari dakwah sembunyi-sembunyi di Makkah hingga terbentuknya Daulah Islamiyah di Madinah, tercatat ribuan sahabat setia beliau, tak ketinggalan wanita wanita hebat, para sahabiyah yang juga tak mau kalah mengambil peran utama dalam setiap lini perjuangan. Bahkan peperangan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki, para sahabat wanita Rasulullah juga turun membantu dan berkiprah sesuai kodratnya.
Hingga kini, di zaman milenial ini, tak ada yang mengingkari, bahwa peran wanita dalam membangun peradaban di semua sektor adalah peran yang sangat strategis. Dari skala kecil hingga besar, kiprah wanita selalu eksis. Tak terkecuali dalam dakwah dan perjuangan Islam, kiprah para sahabiyah (sahabat perempuan Rasulullah) telah mengekal dalam buku karya para ulama.
Dalam keluarga, wanita sebagai pendamping laki-laki, bukan hanya sekadar ada disampingnya, melayani keperluannya, menjadi teman suka duka, namun kiprahnya lebih dari itu. Bahkan kesuksesan seorang laki-laki tak pernah lepas dari peran perempuan, entah istri atau ibunya. Untuk turut mengambil andil dalam perjuangan Islam, tentu saja setiap wanita harus menjiwai sifat-sifat wanita mukminah. Islam diperjuangkan oleh orang yang memiliki keimanan dan rasa cinta kepada Rabb-Nya. Tersebab itulah yang menjadi landasan, itulah yang menjadi ruh dalam perjuangannya. Rahmat Allah menjadi harapan tertingginya.
Perjuangan Dakwah Wanita Sebagai Istri
Sosok Khadijah Radhiyallahu Anha adalah contohnya. Amat besar kiprah beliau dalam menopang dakwah Rasulullah. Dukungan moril beliau, kala Rasul dilanda kesedihan beliaulah yang pertama kali menghibur Rasulullah. Kala perasaan gundah datang, beliaulah yang menentramkan, menenangkan dan meneguhkan pendiriannya. Kala ujian keras menimpa, beliau berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar dan kuat. Beliau yang pertama kali beriman saat suaminya diutus sebagai Nabi. Tidak sampai disitu, bahkan beliau turut mendakwahkan Islam dengan gigih, bersabar dan mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian, dan rela meninggalkan rayuan kesenangan dunia.
Maka kesuksesan perjuangan dakwah suami tidak terlepas dari sosok istri yang bisa menjadi layaknya Khadijah bagi Rasulullah. Istri yang mendukung, membantu secara moril dan materil perjuangan suaminya, insya Allah turut berperan dalam perjuangan Islam.
Kisah perjuangan Zainab putri Rasulullah juga patut menjadi teladan menjadi sosok istri sholihah. Kala Zainab menyambut seruan dakwah yang dibawah oleh ayahnya, sedang suaminya Abul Ash belum mau meninggalkan agama kekafiran. Sosok yang menjadi pemimpin dan pengayom keluarga ternyata belum menerima hidayah. Namun beliau optimis dan tak kenal putus asa, berusaha dan berdoa agar kelak Allah melapangkan dada Abul Ash untuk Islam. Beginilah seharusnya seorang istri, jika suami belum mengenal Islam dan perjuangan, maka doa dan usahanya harus tak pernah putus.
Perjuangan Dakwah Wanita Sebagai Anak
Dzatun nithaqain, julukan yang langsung diberikan oleh Rasulullah, saat perannya mendukung hijrah Rasulullah beserta sahabat tercintanya, Abu Bakar Ash Shiddiq. Yah beliau Asma binti Abu Bakar, yang menyiapkan bekal makanan untuk keduanya saat bersembunyi di goa Tsur tatkala akan berhijrah menuju kota Madinah. Seakan tak ada rasa takut, perjuangan Rasulullah menempuh jalan hijrah yang bisa saja menghabisi nyawanya, tak menyurutkan langkah Asma untuk berkiprah, meski dengan menyiapkan pengganjal perut untuk ayah dan orang yang dicintai atas dasar iman.
Ketika masih kecil Asma binti Abu Bakar telah menghadapi gangguan musuh Allah Abu Jahal yang datang kepadanya, untuk memaksanya memberitahu rahasia tempat ayahnya. Akan tetapi beliau menjaga tanggung jawab, beliau menyadari bahwa satu kata yang keluar dari mulutnya bisa membahayakan Rasulullah dan ayahnya.
Fatimah Az-Zahra juga memberi teladan terbaik. Sejak kecil beliau sudah bersabar atas serentetan tipu daya dan penderitaan yang dialami ayahnya kala awal mendakwahkan Islam. Ketika ibunya, Khadijah binti Khuwailid meninggal, beliaulah yang memikul beban dengan sabar dan teguh, mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya hingga diberi gelar "ibu dari ayahnya".
Perjuangan Dakwah Wanita Sebagai Ibu
Sebagai ibu, wanita adalah madrasah atau sekolah bagi anaknya. Meskipun peran ayah juga tidak bisa dikesampingkan, namun dengan posisi sebagai ibu yang lebih banyak mendampingi anak, dikarenakan ayah memiliki kesibukan diluar rumah untuk mencari nafkah, tentu proses tarbiyah yang berarti menanamkan nilai kepada anak, cukup membuktikan betapa penting sosoknya sebagai pendidik.
Sebagai ibu, wanita harus bisa mendidik, mempersiapkan dan mengarahkan anaknya agar bisa mengambil peran dalam perjuangan. Ia harus bertekad agar rahimnya menjadi pencetak ulama dan mujahid. Untuk itu seorang wanita harus selalu belajar bagaimana mendidik anak yang benar menurut Islam.
Hendaknya ia mendidik anaknya sejak kandungan, melatih dan membiasakan anaknya dengan kalamullah dan adab islami.
Anas bin Malik, pelayan Nabi sekaligus sahabat yang memiliki usia yang panjang, berkat doa Rasulullah. Karir terhormatnya yang membersamai Rasulullah sehari-hari berkat kecerdasan sang Ibu, Ummu Sulaim. Beliau ingin agar anaknya bisa banyak bermulazamah dengan Rasulullah. Kecerdasannya terlihat dengan upaya beliau bertemu Rasulullah, menawarkan anaknya untuk menjadi pelayan Rasulullah, hingga akhirnya Anas bin Malik memasuki rumah nubuwah.
Perjuangan Dakwah Wanita dalam Masyarakat
Dakwah Ummu Sulaim tak sampai disitu, kehormatan lain beliau dapatkan sebagai wanita dengan mahar yang paling mulia, yakni Islamnya Abu Thalhah, suaminya. Ummu Sulaim dengan kecantikan dan kecerdasan yang ia miliki tak membuatnya pongah dan terbuai dengan dunia. Ia bahkan tak mudah goyah kala seorang laki-laki penunggang kuda dan pemanah jitu yang kaya raya namun masih kafir datang melamarnya.
"Tidak tahukah Anda, wahai Abi Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?" Tanya Ummu Sulaim.
"Ya betul!" Jawab Abu Thalhah.
"Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu bakar untuk memasak? Jika Anda masuk Islam, wahai Abu Thalhah, saya rela kamu menjadi suamiku. Saya tidak akan meminta mahar darimu selain itu." Kata Ummu Sulaim.
Wanita manakah yang lebih mulai dari beliau, dengan mahar yang paling mahal yakni keislaman seseorang.
Wanita sebagai pejuang Islam dalam masyarakat seyogyanya selalu menjadikan Islam, menjadikan Al Qur'an dan sunnah sebagai tolak ukur setiap langkah yang diambil. Wanita yang senantiasa memandang setiap hal dalam hidupnya dengan pertimbangan agama. Ia menyadari dan bersyukur bahwa dirinya sangat berharga, sehingga ia pun menjadi tak mudah patah, tak mudah goyah dan terbuai dengan rayuan. Betapa banyak wanita akhir zaman yang dengan mudahnya menyerahkan kehormatan dirinya, hanya atas nama nafsu belaka. Wal iyyadzubillah. Seorang wanita merupakan salah satu batu bata penyusun kelompok masyarakat. Dengan profil jati diri muslimah yang ia miliki harus menjadi pondasi, menjadi teladan bagi lingkungannya. Ia seyogyanya berkiprah untuk kebaikan orang-orang disekelilingnya. Semoga para wanita muslimah diberi kemudahan dan dituntun oleh Allah untuk senantiasa turut andil dalam tegaknya syariat Islam.
====================================
Penulis : Fitri Wahyuni
Editor : Ustaz Muhammad Istiqamah, Lc.