Didiklah Anakmu 25 Tahun Sebelum Dilahirkan

Parenting
Super Admin
04 Jan 2019
Didiklah Anakmu 25 Tahun Sebelum Dilahirkan

Mendidik anak sebelum dilahirkan. What? Emang bisa? Bisa. Mendidik anak sebelum dilahirkan merupakan hal penting dalam proses pendidikan generasi. Bukan hanya mendidiknya ketika masih dalam kandungan. Tetapi hal terpenting adalah mendidik pendidik itu sendiri.  

Wanita adalah ujung tombak pendidikan generasi bangsa. Jika wanita itu rusak, maka rusaklah generasi bangsa. Mendidik seorang wanita sama dengan mendidik sepuluh generasi. Mungkin jejeran kalimat itu sudah tak asing di telinga kita. Kalimat yang mengandung makna mendalam bagaimana pentingnya pendidikan perempuan di dunia ini. Pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian utama bagi semua.  

Al ummu madrasatul 'ulaa, ibu adalah madrasah pertama. Begitulah bunyi potongan sebuah syair Arab. Makna yang tak jauh beda dengan kalimat di atas. Semakin mengokohkan pandangan bahwa pendidikan dari seorang perempuan sangatlah strategis bagi sebuah generasi.

Fitrah wanita yang mengandung dan melahirkan selanjutnya menyusui dan merawat anak menjadikan wanita  lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan sang anak.  

 وَالْوَالداتُ یُرْضِعْنَ أوْلَادهَُّ ن حَوْلیْنِ كَامِلیْنِۖ  لمَنْ أرَاد أنْ یُتَّ م الَّ رضَاعَةَۚ  وَعَلى الْمَوْلود لهُ رِزْقُهَُّ ن وَكِسْوَتُهَُّ ن بالْمَعْرُوفِ

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 233).

Proses menyusui bukan hanya proses transfer ASI dari ibu ke anak melainkan ada transfer nilai kasih sayang, transfer cinta, dan lain sebagainya. Proses-proses itu mengukuhkan kebersamaan ibu dan anak.  

Tingginya intensitas kebersamaan ibu dan anak jika dibanding dengan ayah menjadikan wanita memiliki peran yang sangat dominan untuk mendidik anaknya. Maka tingkat pengetahuan ibu menjadi sangat penting dan mendesak untuk ditingkatkan dan diperbaiki karena proses pendidikan bagi seorang anak akan terus berjalan ketika ia lahir nantinya. 

Mendidik anak tidak seperti membiarkan air mengalir begitu saja. Perlu ada perencanaan, pengetahuan dan kepekaan menghadapi segala kondisi anak. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi zaman now, moral dan style hidup anak terkikis zaman dengan perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat. Ketika tontonan dari gadget merajai harinya hingga menjadi tuntunan tanpa mereka sadari membuat orang tua harus ekstra hati-hati dengan setiap yang ‘bersentuhan’ dengan anaknya.  

Proses pendidikan adalah proses kompleks dengan tantangan yang bejibun. Bagi umat Islam, Al Qur'an dan hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menjadi panduan utama dan terlengkap. Darinyalah diharapkan nilai-nilai kebaikan mengalir untuk sang anak sehingga lahir generasi yang akan menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi, menjadi penegak Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.  

Maka sungguh sangat berat mendidik sebuah generasi. Hari ini kehidupan manusia bukan berada di hutan belantara yang jauh dari tontonan tak bermoral. Bukan pula berada di puncak gunung yang hanya merasakan kesejukan dan melihat pesona di sekeliling. Tapi hari ini kehidupan manusia berada ditengah-tengah peluang keburukan yang bertebaran dimana-mana, bahkan bisa jadi didalam rumah sendiri, yang mengancam jiwa anak. Hidup di kota metropolitan sama saja dengan hidup di desa karena tontonan layar televisi dan layanan internet sudah menyentuh seluruh kawasan. Kesadaran akan tantangan pengasuhan yang begitu berat di zaman milenial ini seharusnya semakin menyemangati dan menantang para orang tua untuk mempersiapkan tameng dan bekal.  

Begitu besarnya tantangan pendidikan generasi hari ini semakin menantang sang pendidik khususnya orang tua mengenai kesanggupan mendidik generasi milenial. Maka tentu pekerjaan terbesar adalah bagaimana menyiapkan pendidiknya agar mampu mendidik generasi milenial yang penuh tantangan. Seorang pendidik harus punya ilmu agama yang mumpuni agar kelak bisa menjawab segala tantangan pengasuhan.  

Generasi pejuang nilai-nilai Islam tidak akan terbentuk begitu saja, tanpa gemblengan dari pendidiknya. Generasi cerdas berilmu akan lahir dari dari seorang guru yang berilmu pula. Generasi yang sholih sholihah akan lahir insya Allah dari pendidik yang sholih, meskipun hidayah tak diwariskan, namun teladan dan didikan pendidik sholih akan melahirkan benih yang sholih pula.  

Bukankah Ummu Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi dengan kesholihan dan kecerdasannya mampu mendidik anaknya hingga menjadi ulama ahli hadits, fuqaha dan imam di usia yang masih muda. Beliau mendidik anaknya dengan mengarahkan seluruh potensi dan hartanya demi pendidikan sang anak. Hingga ayahnya terisak mengetahui kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi pada anaknya.  

Bukankah Ummu Sulaim, karena keyakinannya yang menghujam begitu dalam di dadanya, mendidik anaknya, Anas bin Malik untuk berucap Laa Ilaha illallah hingga menjadi pelayan manusia terbaik, Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam. Suaminya yang tak ingin masuk Islam tidak menyurutkan langkahnya bahkan semakin bersemangat mendidik anaknya.  

Bukankah Al Khansa, dengan deretan prestasi jihad yang mengagumkan dalam berpartisipasi bagi Islam dan membela kebenaran, lahir dari keyakinan yang teguh akan Allah. Lagi dan lagi kesholihan mengantarkan empat putranya syahid di jalan Allah. Syairnya yang menggugah jiwa ia lantunkan untuk membakar semangat jihad anaknya hingga syahid tak bersisa.  

Generasi tangguh tidak akan lahir dari manusia cengeng. Generasi pejuang kebenaran tidak akan lahir dari manusia bermental kerupuk. Generasi kuat akan hadir dari mereka yang mendidik anaknya dengan mental baja, kecerdasan dan kesholihan dalam jiwanya.  

Lahirnya generasi tangguh tidaklah instan. Kecerdasan tidak diperoleh begitu saja. Kesholihan tidak datang semudah semilir angin di pagi hari. Ia datang dengan usaha dan komitmen yang besar untuk menghadirkannya dalam jiwa. Kesholihan datang dengan kuatnya keyakinan dan ilmu yang melahirkan kedekatan kepada Allah Subhanahu wata'ala.  

Maka jika anak keturunan sholih menjadi menjadi dambaan, mutlak kiranya mendidik diri agar dekat kepada Rabb. Jika anak keturunan yang mulia menjadi cita-cita, maka tangga menuju kemuliaan itu idealnya sudah dinaiki satu persatu oleh pendidiknya. Jika keturunan ahlul qur'an adalah target, maka lisan pendidiknya hendaknya telah sering berinteraksi dan melafazdkan Al Qur'an. Jika ketinggian ilmu anak cucu menjadi kerinduan, maka tentu pendidiknya sudah terbiasa dan menguasai ilmu Ad-Dien.  

Mendidik diri sekali lagi tidaklah instan. Butuh waktu yang panjang. Tak heran, Imam Al Ghazali bertutur, “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia dilahirkan”. Didiklah diri kita untuk menjadi pribadi qur’ani jauh sebelum anak itu dilahirkan. Yah...mendidik gurunya dahulu, orang tuanya sebagai madrasah pertamanya.  

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian (wikipedia.com). Pendidikan adalah pembiasaan, lahir dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Anak yang sering melihat orang tuanya menegakkan sholat, insya Allah akan meniru dan ikut sholat. Anak yang sering melihat orang tuanya mengaji akan mudah juga untuk diajak mengaji. Anak yang terbiasa melihat orang tuanya ke masjid, akan ikut juga ke masjid dan dekat dengan aktivitas di masjid. Anak yang terbiasa berkumpul dengan orang sholeh insya Allah akan mendapatkan faedahnya dengan ketenangan dalam hatinya. Maka naikilah tangga menuju cita-cita memperoleh keturunan yang sholih dengan mendidik diri untuk sholih terlebih dahulu. Kapankah itu? Sekarang, lebih cepat lebih baik, tak ada kata terlambat.  


-------

Fitri Wahyuni


Baca Juga