Oleh Maulana La Eda, Lc., MA.
"Mā wahannā mā wahannā… naḥnu aḥfādul-muṡannā… fī ṭarīqil-majdi sirnā… is`alū tārīkha 'annā". Demikian di antara bait syair Jihad Turbani yang seringkali dinasyidkan oleh ketiga anak saya dengan lantunan fasih dan lantang. Nasyid indah ini tak hanya menggugah, tapi juga menumbuhkan 'izzah (kemuliaan) dalam jiwa, lantaran memiliki makna yang begitu dalam: "Kami tak pernah lemah… sebab kami adalah generasi penerus Al-Muṡannā (figur tabiin penakluk Persia)… di jalan kemuliaanlah kami mengembara… tanyakanlah kami pada lembaran-lembaran sejarah itu".
Ya, dalam perjalanan sejarah kejayaan peradaban Islam, umat Islam adalah umat yang sangat mulia serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan. Islam mulia dan bisa diterima oleh seluruh bangsa di dunia, karena ia adalah satu-satunya agama yang bertujuan memuliakan dan memanusiakan manusia secara hakiki, membebaskan mereka dari seluruh jenis penghambaan terhadap makhluk, dan mengembalikan hati mereka kepada Tuhan Maha Pencipta yang merupakan satu-satunya Ilah yang berhak disembah: "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman." (QS Ali 'Imran: 139).
Di antara bentuk kemuliaan yang ditekankan oleh ajaran Islam adalah menjaga kehormatan dan harga diri seorang muslim, bahkan menjadikannya sebagai satu hal yang wajib dijaga, dihargai dan dilindungi. Hakikat kemuliaan dirinya terdapat dalam sifat tawaduk dan ketundukannya kepada Allah, serta kebanggaannya sebagai seorang muslim yang berakidah dan berakhlak islami. Nilai-nilai keislaman inilah yang mengangkat kemuliaan dirinya di hadapan Allah Ta'ala dan di hadapan seluruh makhluk, sebagaimana dalam ucapan populer Khalifah Umar radhiyallahu'anhu, "Sungguh dahulu (masa jahiliah) kami adalah kaum paling hina, lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Bila kami menuntut kemuliaan dengan selain Islam itu, maka Allah pasti akan menghinakan kami". (Mustadrak Al-Hakim:207).
Islam sangat membela kehormatan dan harga diri pemeluknya, bahkan harga diri seluruh umat manusia. Dalam hadis sahih Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda, "Antara muslim yang satu dengan yang lain haram (melakukan kezaliman); terhadap darahnya, hartanya dan kehormatannya". (HR Muslim: 2564). Atas asas penjagaan harga diri dan kemuliannya inilah seorang muslim bahkan non muslim sekalipun tidak dibolehkan untuk dihina dan dizalimi. Nilai-nilai inilah yang ditekankan oleh Allah Ta'ala dalam banyak ayat Al-Quran, di antaranya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (yakni saudaramu seiman), dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan…" (QS Al-Hujurat: 11)
Sebagai satu individu, seorang muslim harus merasa memiliki 'izzah dan marwah ini di hadapan orang lain. Ia tak mudah putus asa atau menyerah, tak mengemis selama ia masih mampu, tak lemah dalam menghadapi berbagai rintangan, menjaga akhlak islami, menyebarkan dakwah, menampakkan syiar-syiar Islam, serta menjadi pembela Islam di mana saja ia berada. Menampakkan kemuliaan diri tak berarti mesti menzalimi orang lain atau penganut agama lain, karena kemuliaan diri seorang muslim terhiasi oleh akhlak mulia: "Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya." (HR Bukhari: 3559).
Di sisi lain, umat Islam harus menanamkan kemuliaan dan menjaga harga diri dan kehormatannya di mata umat-umat lainnya karena ialah satu-satunya umat yang mentauhidkan Allah Ta'ala, dan telah terbukti menjadi pencetus peradaban terbaik dan pembawa kedamaian di berbagai wilayah yang dikuasainya di sepanjang sejarah kekhalifahan-kekhalifahan Islam dunia atau kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Tugas utama penanaman nilai-nilai kemuliaan ini bukan hanya ada pada pundak para alim ulama, tapi juga pada para umara yang memiliki kekuasaan dan kekuatan di berbagai aspek. Para umaralah yang mesti berada di samping para ulama untuk menjaga nilai-nilai tersebut, bukan malah menjauhi atau bahkan cenderung memusuhi dan menghalangi langkah para ulama dalam ranah dakwah dan penyadaran umat.
Betapa banyak umara di negara yang dikenal sebagai negeri dengan umat Islam terbesar di dunia ini telah menuntut kemuliaan dengan selain Islam; dengan materialisme, dengan sekulerisme, dengan pelegalan zina dan LGBT, dengan prestasi-prestasi duniawi, bahkan sampai-sampai menuntut kemuliaan dengan kriminalisasi ulama dan intimidasi para dai dengan dalih pemberantasan radikalisme dan terorisme. Bila demikian, yang akan diraih hanyalah kehinaan, kehilangan harga diri, kelemahan, bahkan keterjajahan baik dari segi ekonomi ataupun politik.
Tapi, semua tentunya belum terlambat selama dalam barisan umat ini masih ada figur-figur ulama dan umara yang ikhlas berjuang dan berkorban demi menampakkan kemuliaan Islam. Merekalah umara penerus Al-Muṡannā, seorang tabiin pemimpin kabilah Bani Bakr yang rela berjuang dan berkorban agar umat Islam merasa aman dari serangan Majusi Persia dan kaum musyrikin Arab. Juga merekalah ulama penerus Rib'iy bin 'Amir, seorang dai dan diplomat islami yang sangat handal, yang dengan kepala tegak menyatakan kepada Rustum, Jenderal Kerajaan Persia, "Allah telah mengutus kami demi mengeluarkan orang-orang yang Dia kehendaki dari penyembahan makhluk kepada penyembahan Allah semata, mengeluarkan mereka dari sempitnya dunia kepada kelapangannya, dan dari kezaliman seluruh agama kepada keadilan Islam." (Tarikh Ath-Thabariy: 3/250)
Oleh karena itu, bila kaum muslimin ingin kembali ke puncak kemuliaan yang Allah Ta'ala janjikan pada mereka dan yang telah diraih oleh para salaf, baik kemuliaan secara individu ataupun secara bangsa dan umat, maka mereka harus menempuh jalan yang ditempuh oleh para pendahulu umat ini, sebab "umat ini tak akan baik dan mulia melainkan dengan cara menempuh jalan yang menjadikan para pendahulunya baik dan mulia" sebagaimana dalam ucapan Imam Malik rahimahullah.
Di antara jalan tersebut adalah:
1- Konsisten dengan keimanan serta menerapkan ajaran Islam di semua aspek kehidupan: "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang beriman." (QS Ali 'Imran: 139).
2- Menjaga persatuan di kalangan umat Islam, utamanya dalam barisan Ahli Sunnah wal Jamaah: "Dan janganlah kamu berbantah-bantahan (berpecah belah) yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu…" (QS Al-Anfal: 46).
3- Menyadari adanya makar kaum munafikin serta orang-orang kafir dan berusaha menghindarinya: "Mereka (kaum munafikin) berkata (secara makar), 'Sungguh, jika kita kembali ke Madinah, pastilah orang yang kuat (munafikin) akan mengusir orang-orang lemah (kaum mukminin) dari sana'. Padahal, kemuliaan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui". (QS Al-Munafiqun: 8)
4- Memuliakan para ulama yang merupakan ahli waris para nabi dan penjaga kemuliaan Islam, serta menempatkan mereka pada derajat yang semestinya: "Para ulama adalah ahli waris para nabi". (HR Abu Daud: 3641 dan Tirmizi: 2682).
5- Mengangkat para penguasa yang agamis, amanah dan kuat baik secara fisik, ilmu, pengaruh ataupun karakter sehingga tidak mudah dipengaruhi atau diintervensi.
Semoga Allah Ta'ala mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat dan bangsa ini sebagaimana mestinya, serta mengekalkannya: "Mā wahannā mā wahannā… naḥnu aḥfādul-muṡannā… fī ṭarīqil-majdi sirnā… is`alū tārīkha 'annā".[]
Sumber: Majalah Sedekah Plus Edisi 73