Akal Sehat Dalam Bingkai Syariat

Buletin
Abu Hasan
14 Feb 2020
Akal Sehat Dalam Bingkai Syariat

Oleh Azwar Iskandar

Di antara nikmat agung yang dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada manusia adalah nikmat berupa akal sehat, yang dengannya manusia bisa berfikir, dapat terus berinovasi menjalani kehidupan dan membangun peradaban, dan dengannya manusia dapat membedakan mana yang baik-bermanfaat dan mana yang buruk-berbahaya sesuai jangkauan akal manusia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya), “Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian bersyukur” (Q.S. an-Nahl : 78). Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni akal yang tempatnya di hati- untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar mereka dapat beribadah kepada Rabb Nya.”

Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta'ala banyak mendorong manusia agar mau menggunakan akalnya untuk berfikir, diantaranya adalah Firman Nya (yang artinya), “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S. an-Nahl : 12).

Secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia.

Karena besarnya kemuliaan dan kedudukan akal, Islam menetapkan beberapa aturan dan ketetapan syariat dalam rangka menjaga dan mengembangkan akal. Di antaranya: (1) Islam memasukkan akal ke dalam dharuriyatul khamsah yaitu lima hal kebutuhan primer yang harus dijaga, yaitu agama, jiwa, harta, nasab (keturunan), dan akal; (2) Islam mengharamkan semua yang bisa merusak akal, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, (musik) dan nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr (minuman keras), narkoba, dan lainnya serta memberikan sanksi kepada yang melakukannya; (3) Islam menjadikan akal sebagai salah satu syarat utama taklif (pembebanan dalam syari'at), dimana orang yang masih belum sempurna akalnya seperti anak-anak, ataupun yang memang memiliki kekurangan dalam akalnya seperti orang gila, gugur kewajibannya menjalankan syari'at; dan (4) Islam memerintahkan umatnya untuk belajar dan menuntut ilmu, yang dengannya akal dapat lebih berkembang dan meningkat, sehingga Allah memberikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya, sebagaimana firmanNya (yang artinya), “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadilah : 11).

Meskipun Islam menghormati dan memuliakan akal sehat, akal tetap wajib ditempatkan di tempat yang layak sesuai dengan kedudukannya. Artinya, Islam memuliakan akal namun tidak berlebih-lebihan dalam memposisikannya. Sebaliknya, meskipun akal memiliki keterbatasan, Islam juga tidak meremehkan dan mencela akal dan logika yang benar, karena akal yang sehat dan baik justru akan menyempurnakan suatu ilmu dan amal.

Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang ada lemahnya pula.

Diantara bukti adanya titik lemah pada akal manusia, adalah adanya banyak hakikat yang tidak bisa dijelaskan olehnya, seperti: hakikat ruh, mimpi, jin, mukjizat, karamah, dan lainnya. Belum lagi, seringnya kita dapati adanya perubahan pada hasil penelitiannya, seperti : dahulu berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori bulat, lalu muncul teori lonjong; dahulu mengatakan minyak bumi adalah sumber energi tak terbarukan, lalu muncul teori sebaliknya; dahulu mengatakan matahari mengitari bumi, lalu muncul teori sebaliknya,; dan begitu seterusnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa akal sesunguhnya tidak layak dijadikan sebagai sandaran untuk menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber kebenaran hakiki berupa dalil yang diwahyukan, maka itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal diberi ruang untuk memahami dan menerima dengan apa adanya.

Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan akal, sehingga kita tahu, kapan kita boleh melepas akal kita di lautan pandangan, dan kapan kita harus mengontrolnya dengan wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sekali lagi, ini merupakan bentuk penghormatan Islam terhadap akal. Islam menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus menjaganya agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang membingungkan dan menyesatkan. Di antara beberapa hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah: (1) hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, surga dan neraka, nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan lain-lain; (2) dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syariat, seperti adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan anak kecil, dan lain-lain; dan (3) ajaran syariat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan lain-lain. Dalam perkara-perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada, ia tidak boleh menentangnya, ataupun mengada-ada.

Adapun yang berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah ‘lautan luas’ yang diberikan kepada akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus menemukan dan mengolahnya. Inilah yang banyak disinggung dalam firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti (yang artinya), “Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangun dan menghiasinnya dan tidak ada keretakan sedikitpun padanya?. Dan (bagaimana) bumi Kami hamparkan, Kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan di atasnya tanaman-tanaman yang indah… Agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepadaNya)” (Q.S. Qaf : 6-8).

Akal manusia ibarat sepasang mata sedangkan dalil wahyu bagaikan lentera atau cahaya. Mata tidak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya cahaya. Mata kita akan dapat berfungsi dengan baik dan benar jika ada cahaya. Cahaya tersebut adalah dalil wahyu (al-Qur'an dan as-Sunnah) terhadap akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  mengatakan, “Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua), akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur'an, maka itu ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api”.

Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa memahami bahwa akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan atau bertolak belakang dengan dalil syar'i baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah. Karena semuanya berasal dari Allah Yang Maha Sempurna lagi Maha Bijaksana. Akal yang sehat adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dalil syar'i merupakan FirmanNya. Maka mustahil segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta'ala saling bertentangan. Wallahu a’lam.[]

Sumber: Majalah Sedekah Plus Edisi 66

Baca Juga